Thursday, August 1, 2019

Pembodohan Rohani Berjemaah

Tuhan Yesus sudah memberikan perintah untuk kita menilai bahkan ada pula yang namanya karunia atau kemampuan untuk membedakan roh. 

Namun ketika penilaian atau hasil membedakan roh dipublikasikan, orang yang mempublikasikan penilaiannya malah dianggap menghakimi. 

Contohnya adalah ketika saya menyebut dalam penilaian saya tentang pendeta palsu dari Zimbabwe yang bernama Paul Sanyangore, yang diundang oleh persekutuan Ark of Christ (AoC), Bandung, yang kebetulan juga mengundang nabi palsu sekaligus pelaku pencabulan anak-anak di bawah umur untuk berkotbah di mimbar yang sama, yang kasusnya sudah berjalan 5 bulan, Timothy Luke Saputra alias Yesaya Gunawan.

Pihak AoC dan banyak saudara dari Bahtera dengan secapat cahaya menganggap saya menghakimi, padahal saya hanya menilai dan tidak ada vonis apapun yang saya jatuhkan kepada mereka maupun orang yang mereka undang.

Dan karena begitu mudahnya menganggap setiap penilaian sama dengan tindak menghakimi, akibatnya jemaat tidak pernah dicerdaskan, tidak punya ruang untuk bisa menilai dengan baik suatu perkara rohani, karena takut dianggap menghakimi.

Pendeta palsu dari Zimbabwe yang saya nilai sebagai tukang sihir itu, disodorkan ke jemaat oleh pihak pengundang sambil berkata, "Saya sudah cek spiritnya, clean!" Seakan-akan dia berhak memberikan sertifikat "halal" kepada siapapun yang dia kehendaki, alih-alih mempersilakan setiap jemaat menilai sendiri setiap perkara rohani yang ada. Ini jelas pembodohan berjemaah. 

Lebih miris lagi ketika para pengkotbah palsu itu dari atas mimbar mengkotbahkan dalih yang paling manjur, yakni dalih "jangan menyentuh yang diurapi", maka semakin tumpullah kemampuan penilaian yang diharapkan Tuhan Yesus ada dalam setiap orang percaya.

Logika dan akal budi jemaat diberangus oleh citra para "hamba" Tuhan yang mengaku diurapi itu. Karena ketika logika dan akal budi digunakan untuk menilai sesuatu yang rohani, hal itu dianggap haram.

Padahal dengan tegas Tuhan Yesus katakan, "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, DENGAN SEGENAP AKAL BUDIMU, dan dengan segenap kekuatanmu."

Akibatnya, logika dan akal budi tidak mengalami pembaharuan seperti yang Tuhan kehendaki, tidak pernah cerdik seperti ular, hanya ada tulus seperti merpati saja, sehingga selamanya jemaat yang tulus itu menjadi target empuk pembodohan yang berkepanjangan.

Begitu juga ketika dengan gamblang dan bukti nyata saya mempublikasikan penilaian bahwa Ibu Iin Tjipto dan Bahtera terbukti ada melakukan tindak klenik dengan dalih profetik melalui segala ritual yang dilakukan dalam menyambut Perayaan Tahun Yobel Besar 5776. 

Saya diminta untuk menyampaikan "empat mata" daripada mempublikasikannya di medsos seperti ini. 

Apa tidak sekalian menyarankan untuk Tuhan Yesus bicara baik-baik secara "empat mata" dengan para imam di Bait Allah saat itu, daripada langsung mencambuk dan menunggangbalikkan meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati? 

Hello? Sampai kapan kita benar-benar secara tegas untuk sungguh-sungguh mengalami pembaharuan akal budi yang dikehendaki Tuhan itu?

Petunjuknya jelas,

"Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.

"Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." - Roma 12:1-2

Ketika kita benar-benar fokus dan memprioritaskan perkenan Allah daripada penerimaan (komunitas) manusia melalui persembahan yang hidup, maka secara otomatis pembaharuan akal budi itu mengalami prosesnya sehingga sejalan dengan waktu akan semakin mampu membedakan mana yang baik, mana yang berkenan kepada Allah dan mana yang sempurna.

Namun sebaliknya, ketika jiwa kita lebih mempertimbangkan apa kata orang dibanding perkenan Allah, maka pembaharuan akal budi pun akan mengalami kebuntuan, dan kemampuan membedakan tidak berkembang, sehingga selamanya menjadi target pembodohan yang berkepanjangan.

Suatu kali saya mendengar ada pengkotbah berkata, "Anda jangan mau dan tidak boleh membiarkan diri Anda dijajah dan diintimidasi oleh para pendeta, para pengkotbah maupun yang mengaku hamba Tuhan, termasuk saya. Anda harus bisa mandiri, dan menilai mana yang benar."

Itu baru pengkotbah "gentleman", berani "ditelanjangi" oleh jemaatnya sendiri dan siapapun yang bisa menilainya, dan itu memang yang mencerdaskan. 

Bukan membodohi jemaat di balik "aksesoris" karunia-karunia roh, maupun pengalaman-pengalaman spiritual dan dengan sambil berdalih "jangan menyentuh yang diurapi".

Pada akhirnya setiap orang percaya harus menyadari bahwa hanya sedikit orang yang menuju kepada kehidupan karena sesaknya pintu dan sempitnya jalan yang menuju ke sana, sedangkan kepada kebinasaan, pintunya begitu lebar dan jalannya begitu luas.

Semoga pada saat menyadarinya, kita belum terlambat.

Tuhan memberkati.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.