Tuesday, January 23, 2018

Surrender

"Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa." - Lukas 15:17-19

Jiwa manusia itu unik, apalagi ketika berhubungan dengan impian, cita-cita dan ambisinya. Sama dengan kekuatan untuk bertahan hidup (survival) yang kadang bisa penuh dengan kejutan, begitu juga ketika manusia berjuang atau berproses untuk menggapai impiannya. 

Karena motivasinya itu, orang membangun dirinya, menambah ketrampilannya, memperluas jaringannya, mempertajam intuisinya, mengubah gaya bicaranya, meningkatkan penampilannya dan seterusnya sampai ia merasa dirinya sukses dan mendapati dirinya semakin sukses dari waktu ke waktu. 

Dan ketika dia telah sukses dan banyak mendapat pengakuan dari banyak orang, ia akan merasa layak berbangga atas perjuangannya dan jerih upaya yang dilakukannya. Namun pernahkah Anda melihat atau mengalaminya sendiri, bahwa seberapa pun besarnya kesuksesan itu, tetap tidak ada damai sejahtera yang bisa tinggal di dalam batinnya.

Kebanggaannya terlihat, kesenangannya ada, tapi di balik permukaan yang tak terlihat, ia selalu merasa kekurangan yang ia tidak tahu apa penyebabnya, di tengah kelimpahan yang sedang dinikmati. Sesungguhnya, orang yang demikian jauh lebih malang daripada anak bungsu yang diceritakan Yesus dalam salah satu kisah perumpamaan-Nya. Hanya saja hal itu butuh waktu yang bisa sangat lama untuk seseorang menyadarinya. Atau bahkan jika tidak ada anugerah, orang itu takkan pernah menyadari apa penyebab sesungguhnya.

Mengapa?

Karena orang tersebut tidak menyerah atau berpasrah diri (surrender). Ini berbeda dengan berputus asa. Justru berputus asa itu adalah bentuk lain dari tidak menyerah, termasuk salah satunya adalah tindakan bunuh diri. 

Perhatikan anak bungsu tersebut:

1. Ia menyadari keadaannya yang buruk akibat kebodohannya, dan ia mengakui bahwa banyak orang yang kedudukannya lebih rendah daripada dia, yakni para pekerja ayahnya, memiliki keadaan yang jauh lebih baik.

2. Namun sadar saja tidak cukup, dibutuhkan nyali untuk datang kembali dan mengakui semua kesalahan kepada pihak yang kita rugikan. Sering kali butuh perjuangan yang lebih besar untuk mengakui kekalahan atau kesalahan kita daripada perjuangan ketika kemenangan diperoleh.

3. Anak bungsu tidak hanya mengakui dosanya, ia rela memulai dari nol dengan kedudukan yang lebih rendah, tapi dengan niat dan rencana yang jauh lebih baik. Itu berarti surrender dirinya tidak disertai perasaan putus asa, melainkan dengan perjuangan baru.

Mengapa banyak orang tidak bisa menjadi tenang, sekalipun ia sadar bahwa ia sudah tidak berdaya mengubah keadaannya? Karena ia tidak surrender. Ia malah membanggakan kekalahannya dengan megah di tengah ruang kehidupannya sebagai tanda bahwa ia pernah berjuang tapi sambil menyalahkan orang lain atas kegagalannya.

Rhema Di 2018

Sayang menangkap di roh, ada banyak anak Tuhan yang sedang ditunggu surrender-nya oleh Bapa, bahkan ada yang sudah begitu lama, sekian tahun. Surrender ini kebanyakan dalam bentuk pengampunan terhadap kesalahan orang lain maupun kesalahan dirinya sendiri. Lebih konyol lagi jika Anda ada menyalahkan Tuhan. 

Bersedialah menyambut yang baru dengan tidak lagi menggenggam yang lama, serahkan semua yang lama yang selama ini menghambat damai sejahtera itu ada, serahkan di bawah Kaki Tuhan. Maka berikutnya Anda akan melihat harta terpendam yang akan Beliau singkapkan dan percayakan.

Tuhan memberkati.

Hal Terindah Yang Diberikan Bapa Kepada Kita Ialah Putera Tunggal-NYA Dan Kesempatan Kedua Untuk Berjalan Seirama Dengan Seluruh Kehendak-NYA Dalam Totalitas Yang Tidak Kepalang Tanggung.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.