Kita tentu tidak asing lagi dengan karpet merah selalu diigunakan bukan saja untuk menyambut tamu kenegaraan yang biasanya dilakukan pada upacara penyambutan tuan rumah terhadap tamunya, namun juga pada acara-acara yang terbilang akbar seperti acara penganugerahan terhadap para insan musisi di Amerika Serikat (Grammy Award), para insan perfilman (Cannes, Academy Award, Golden Globe, dll).
Dengan memperhatikan cara dunia menggunakan karpet merah untuk menyambut insan-insan yang dianggap pantas, maka kita tahu bahwa tidak sembarang orang yang dapat disambut dengan karpet merah. Atau dengan kata lain, orang yang disambut di atas karpet merah adalah orang-orang yang dianggap luar biasa, apapun alasan yang digunakannya saat itu.
Merah Bagai Darah
Akhir-akhir ini kita sebagai umat percaya di Indonesia digerakkan untuk berdoa menyambut dan menggelar karpet merah untuk Raja di atas segala raja Yesus Kristus datang kedua kalinya dari Indonesia menuju Yerusalem. Persis menyambutnya sebagai Raja Agung yang sangat berdaulat untuk memenuhi segala firman-Nya.
Seorang teman saya dalam celetuknya berkata, "Koq Tuhan Yesus kayak selebritis aja, sampai harus disambut dengan karpet merah?" "Lagi pula jika memang harus menggelar karpet kan gak mesti merah." Sejujurnya saya cukup emosi mendengar responnya yang sedemikian.
Tahukah Anda bahwa warna merah yang dipergunakan pada karpet untuk menyambut seorang yang dianggap mulia dan terhormat diinspirasi dari kisah pada Kitab 2 Samuel pasal 6. Saat itu Daud sempat gagal membawa tabut Allah ke Yerusalem, dan Daud sempat menitipkan tabut tersebut di rumah Obed-Edom, orang yang dengan notabene bukan bangsa Yahudi, namun menjadi sangat diberkati ketika selama 3 bulan tabut Allah bersemayam di rumahnya.
Untuk kedua kalinya Daud berusaha untuk membawa kembali tabut Allah ke Yerusalem. Namun kali ini dilakukan dengan cara yang berbeda. Selain dengan sikap hati dan tindakan yang penuh sukacita, setiap 6 langkah para pengangkut tabut berjalan, harus ada seekor lembu ditambah seekor anak lembu gemukan harus dikorbankan, sambil Daud menari-nari di hadapan Tuhan dengan sekuat tenaga.
Perlu Anda ketahui jarak dari rumah Obed-Edom hingga ke kota Yerusalem terbentang sekian kilometer. Jika jarak tersebut kita asumsikan sementara 10 kilometer, dan jarak tiap 6 langkah kira-kira 2 meter maka hari itu ada 5,000 ekor lembu dan 5,000 ekor anak lembu gemukan yang dikorbankan. Dapatkah Anda bayangkan berapa banyak darah yang tertumpah sepanjang tabut Allah tersebut dibawa? Dan kira-kira seperti apa napak tilas atau jalur yang dilalui oleh Daud beserta para pengusung tabut? Tentu jawabannya adalah seperti KARPET MERAH.
Jadi sejak awal, Tuhanlah yang mengilhami kebiasaan manusia di berbagai negara di seluruh dunia menggunakan karpet merah sebagai tanda penyambutan bagi orang yang dianggap penting dan terhormat pada posisinya.
Karpet Merah Sampai Ke Yerusalem
Lalu bagaimana kita menyambut dengan karpet merah bagi Yesus Tuhan dan Raja untuk sampai ke Yerusalem, untuk memenuhi impian-Nya menjadi nyata. Hal ini tak lain adalah doa kita, ketaatan dan kesetiaan kita, syafaat kita, dan berbagai macam bentuk pengorbanan kita lainnya sebagai darah yang tercurah mengiringi langkah Sang Raja sampai ke Yerusalem.
Sungguh bahwa ide menggelar karpet merah bagi Sang Raja bukanlah perkara yang enak dan menyenangkan bagi daging kita, namun itu semua berbicara tentang pengorbanan untuk menyenangkan hati-Nya, berjalan seirama dengan hati-Nya, dan pada akhirnya kita didapati setia.
Adakah kita ikut mengambil bagian dan relakah kita mempersembahkan segalanya bagi Raja kita mencapai impian-Nya menjadi kenyataan?