Ada sebuah perkara yang sesungguhnya telah mewabah sangat lama, berlangsung dari generasi ke generasi, dan selalu menjadi pergumulan di seluruh komunitas, termasuk komunitas orang-orang percaya. Perkara itu tak lain adalah pride atau kebanggaan. Termasuk di antaranya adalah kebanggaan karena senioritas, ranking, jabatan dan sejenisnya. Dan hal ini menjadi semakin nyata sejalan ketika kita mendekati hari-hari terakhir.
Padahal setelah kita belajar bersikap miskin di hadapan Tuhan pada Ayin Dalet 5774 (From Dalet To Dalet), Tuhan mengharapkan kita bisa memperdalamnya dengan bersikap semakin Hineni untuk mengutamakan unity Tubuh Kristus di tahun Ayin Hey 5775 ini. Namun kenyataannya ada pihak-pihak yang karena pengalaman dan senioritasnya di sebuah organisasi atau komunitas, kebanggaannya menjadi terusik ketika sesuatu "yang baru" datang dan mendadak menjadi pusat perhatian.
Sebagai contoh nyata adalah fenomena seorang Joko Widodo yang awalnya hanya seorang biasa dengan status pencari nafkah sebagai pengusaha mebel, namun dalam waktu kurang dari satu dekade mangalami jalur ekspres dalam karir politik hingga akhirnya menjadi Presiden RI. Dan setelah terus mengikuti jalan cerita beliau selama beberapa tahun terakhir ini, kita bisa dengan cepat untuk mengerti bahwa pihak-pihak mana saja yang bisa merasa terganggu dengan fenomena beliau ini. Mulai dari rekan-rekan separtai, kolega-kolega politik, pasukan-pasukan yang mengaku relawan, dan seterusnya.
Dan hal inipun juga terjadi di komunitas orang-orang percaya, termasuk di organisasi gereja-gereja, lembaga-lembaga kegerakan, persekutuan-persekutuan doa dalam berbagai level dan skala. Ada "senior-senior" yang bisa merasa begitu terusik atau lebih tepatnya "kalah pamor" dibanding yang lebih junior. Lalu dengan berbagai alasan ada yang mem-"bully" atau mencemooh mereka yang dianggap sebagai ancaman. Coba simak firman berikut ini,
"Kata Yohanes kepada Yesus: 'Guru, kami lihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.' Tetapi kata Yesus: 'Jangan kamu cegah dia! Sebab tidak seorangpun yang telah mengadakan mujizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa memberi kamu minum secangkir air oleh karena kamu adalah pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya.'" - Matius 9:38-41
Saat itu Rasul Yohanes mendapati seseorang yang memang bukan pengikut Yesus, namun mungkin karena orang tersebut telah banyak mendengar cerita tentang nama Yesus, dan kebetulan sedang menghadapi sebuah masalah, maka orang itu diinspirasi Roh Tuhan untuk melakukan mujizat demi nama Yesus. Namun apa yang dilakukan Rasul Yohanes? Mengapa ia mencegahnya? Dan apa jawab Yesus atas tindakan Rasul Yohanes?
Saya melihat dan mendengar cerita-cerita serupa dari orang lain dan bahkan mengalami sendiri apa yang dilakukan oleh rekan-rekan sepergerakan seperti Rasul Yohanes mencegah orang tersebut ketika hendak mengusir setan demi nama Yesus. Ada teman-teman yang memang diberi beban untuk melakukan doa keliling di kotanya secara independen tanpa melibatkan gereja lokalnya, lalu sebagian para pemimpin gereja lokal tersebut mencemooh apa yang dilakukan teman-teman saya.
Begitu juga ketika saya memuat sebuah deklarasi yang bersifat pribadi dan hanya dipublikasi di blog ini dan wall Facebook saya, kemudian ada pihak-pihak yang merasa terganggu dan melakukan tindakan-tindakan yang menurut saya sangat tidak wajar. Saya melihat ada penilaian bahkan penghakiman yang bersifat sangat prematur karena tidak dilakukan dengan komunikasi yang baik apalagi klarifikasi. Lebih aneh lagi ketika ada yang merespon dengan menggunakan istilah "resmi" dan "tidak resmi". Padahal Tuhan jelas berkata, "Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita."
Saya harus menyampaikan hal ini, terutama untuk mengingatkan diri saya sendiri bahwa betapa mengerikan kebanggaan semu yang kita miliki dengan sikap-sikap yang tidak wajar itu. Dan Tuhan Yesus pernah menyindir secara frontal kepada umat pilihan-Nya, bangsa Israel.
"Setelah Yesus mendengar hal itu, heranlah Ia dan berkata kepada mereka yang mengikuti-Nya: 'Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di antara orang Israel. Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub di dalam Kerajaan Sorga, sedangkan anak-anak Kerajaan itu akan dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.'" - Matius 8:10-12
Seorang perwira kafir berkebangsaan Romawi karena responnya yang sedemikian istimewa maka imannya membuat Yesus terkagum. Dan tanpa basa-basi, Yesus yang adalah seorang rabbi sekaligus juga berkebangsaan Yahudi bicara dengan lantang di hadapan kaum sebangsanya menyatakan bahwa iman orang kafir itu lebih besar daripada seluruh orang di Israel. Padahal sudah merupakan kebanggaan turun temurun dari generasi ke generasi bahwa bangsa Israel merupakan anak-anak Abraham yang adalah bapak kaum beriman.
Dan lebih ekstrim lagi ketika Yesus meneruskan pendapat-Nya dengan berkata bahwa anak-anak Kerajaan akan dicampakkan ke Neraka sebab kebanggaan tersebut telah membutakan mata iman mereka, yakni perasaan merasa lebih layak, perasaan merasa lebih benar dan sejenisnya. Pertanyaannya sekarang adalah kebanggaan apakah yang masih hendak kita pertahankan di detik-detik terakhir yang menentukan ini? Apa yang membuat kita benar-benar merasa layak hingga kita dengan lagak bangga menilai apa yang "resmi" atau "tidak resmi"? "Sah" atau "tidak sah"? Dan seterusnya.
Di lima menit terakhir ini Tuhan Yesus sudah meminta kita untuk bergerak melayani sebagaimana Beliau bergerak melayani selama 3,5 tahun di Bumi 2.000 tahun yang lampau. Bergerak karena kasih, karena passion, karena iman, dan bukan mempermasalahkan status para pelaku firman yang hendak mengeksekusi tugas-tugas mereka di lapangan.
Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. ... Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai. Sekarang juga penuai telah menerima upahnya dan ia mengumpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka.
Tetapi pikiran mereka telah menjadi tumpul, sebab sampai pada hari ini selubung itu masih tetap menyelubungi mereka, jika mereka membaca perjanjian lama itu tanpa disingkapkan, karena hanya Kristus saja yang dapat menyingkapkannya. Bahkan sampai pada hari ini, setiap kali mereka membaca kitab Musa, ada selubung yang menutupi hati mereka. Tetapi apabila hati seorang berbalik kepada Tuhan, maka selubung itu diambil dari padanya. Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Elohim, di situ ada kemerdekaan. Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.