"Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali." - Lukas 15:25-32
Tarian dan Tuaian
Jika Anda melihat mulai bermunculan pelayanan tarian di setiap ibadah raya di berbagai Gereja terutama di Indonesia, itu merupakan tanda Tuhan untuk menyatakan bahwa Musim Penuaian Besar (jiwa-jiwa) telah tiba dan tidak lama setelah itu dilanjutkan kedatangan-Nya yang kedua. Dalam kisah Anak Yang Hilang (Kabur) atau dalam bahasa Inggrisnya disebut Prodigal Son, ada minimal empat peran yang tampil; sang ayah yang menggambarkan Allah Bapa; anak sulung yang menggambarkan umat Israel jasmani sekaligus orang-orang percaya (Gereja Tuhan) di seluruh dunia; anak bungsu yang menggambarkan kaum non Israel dan orang-orang yang belum percaya, termasuk Kedar di Indonesia dan Nebaiyot di Timur Tengah (Yesaya 60:7); dan terakhir adalah para hamba yang ikut terlibat aktif membantu sang ayah menyelenggarakan pesta bagi kembalinya anak bungsu.
Bagi kita orang percaya, pilihannya hanya dua, menjadi anak sulung atau menjadi para hamba-Nya. Yang sulung menjadi marah dengan adanya pesta itu, sementara para hamba-Nya ikut bersukacita dengan Sang Ayah tanpa mempertanyakan keputusan-Nya.
Tradisi Pesta di Timur Tengah - Sulung, Sang Kepala Pesta
Sesungguhnya kisah Prodigal Son memiliki banyak kejanggalan yang tidak dapat diterima dengan logika manusiawi kita. Coba renungkan, jika Anda adalah seorang kakak atau adik, sementara orang tua Anda mengadakan pesta bagi saudara Anda yang lain, namun orang tua Anda tidak pernah memberitahukan kepada Anda, tidak mengundang Anda bahkan tidak melibatkan Anda. Bagaimana rasanya? Apalagi dalam pengakuannya, si sulung adalah anak yang bertahun-tahun melayani dengan baik dan tidak pernah melanggar perintah. Itu berarti sebenarnya si sulung adalah anak yang baik, bahkan mungkin beberapa orang bisa menyebutnya sebagai anak yang penurut. Tetapi mengapa sang ayah tidak berkenan mengundangnya ke pesta penting itu?
Tradisi di Timur Tengah mencatat bahwa jika sebuah keluarga mengadakan pesta besar, maka person in charge dari acara pesta tersebut adalah anak sulungnya. Jadi seharusnya si sulung ini yang mengepalai semua kegiatan pesta tersebut, mulai dari para undangan, acara-acara yang akan berlangsung, makanan dan minuman, para pegawai yang terlibat, dan sebagainya. Namun masalahnya sang ayah sudah tahu sejak awal bahwa si sulung tidak akan menyetujui dan akan menentang keputusan ayahnya untuk mengadakan pesta bagi si bungsu. Dan kalaupun si sulung terpaksa setuju, dan ia diberi jabatan sebagai kepala pesta, tentu akan ada kemungkinan bahwa pesta tersebut akan disabotase dan menjadi kacau karena bagaimanapun si sulung tidak setuju dengan keputusan tersebut.
Coba bayangkan, di pesta itu bukan sekedar ada sang ayah dan bungsu serta para pegawai, namun juga ada banyak tamu kehormatan ayahnya. Tamu-tamu terhormat tersebut kemungkinan telah mengetahui "skandal" kaburnya si bungsu, dan jika di antara para tamu ada yang menyinggung perkara itu, maka si sulung yang seharusnya adalah kepala pesta harus memberi jawab yang pantas. Namun jika sejak awal si sulung tidak sepakat dengan keputusan pesta itu, dapatkah Anda bayangkan, jawaban apa yang kira-kira diberikan si sulung kepada para tamu? Dan jika si bungsu yang dipestakan, si sulung tidak dilibatkan dan sang ayah adalah tuan rumah pesta tersebut, siapakah kepala pestanya? Tentu saja salah satu atau beberapa hamba pegawainya, itu sebabnya milikilah hati hamba pada Akhir Zaman ini.
Pengorbanan Sang Ayah
Si sulung akhir "menangkap basah" pesta yang sedang berlangsung, dan ia diharapkan masuk ikut bergabung dalam pesta tersebut. Namun ia malah menjadi marah dan tidak mau masuk. Sampai akhirnya sang ayah harus keluar untuk menghampirinya. Perlu Anda ketahui, bahwa jika tuan rumah sebuah pesta pergi keluar meninggalkan para tamunya hal itu merupakan aib, baik bagi para tamu maupun bagi sang tuan rumah. Itu seperti menunjukkan bahwa sang tuan rumah tidak berkenan dengan situasi yang sedang berlangsung. Keluarnya sang ayah dari pesta untuk menghampiri si sulung merupakan bentuk pengorbanan sang ayah untuk mencoba merangkul anak sulungnya ikut menikmati sukacita bersama ayahnya. Dan seharusnya si sulung tahu semua hal ini, karena ini merupakan tradisi turun termurun.
Si sulung juga tidak rela ayahnya mengorbankan sejumlah harta yang begitu besar lagi untuk mempestakan si bungsu, terutama setelah si bungsu telah menghabiskan warisan ayahnya dengan jalan yang tidak benar. Baginya itu seperti dua kali pemborosan yang menyakitkan. Padahal sang ayah memiliki perasaan dan pemikiran yang sama sekali berbeda dengan si sulung atas kembalinya si bungsu.
Bukankah Allah Bapa juga mengorbankan Anak-Nya yang tunggal untuk menebus dan menyelamatkan kita semua dari dosa dan kehidupan yang sia-sia serta kematian kekal? Adakah alasan bagi kita untuk tetap tidak mau masuk dan terlibat serta bersukacita bersama Allah kita dalam Masa Penuaian Besar ini?
Pada akhir cerita sesungguh tidak pernah dipastikan apakah si sulung akhirnya mau ikut masuk ke dalam pesta atau tetap memilih untuk di luar. Ini menandakan bahwa posisi kita sebagai orang percaya pada Masa Penuaian Besar adalah pilihan untuk sepakat, sehati, sepikir, sederap dan seirama dengan Sang Ayah atau tetap memilih kebenaran diri kita sendiri. Apakah kita akan menjadi si sulung yang merasa sudah melayani bahkan tidak pernah melanggar namun tidak dilibatkan bahkan dibiarkan di luar atau kita mengenakan hati hamba ikut membantu pesta dan ikut bersukacita dengan Sang Ayah menyambut kembalinya anak bungsu sebelum kedatangan-Nya kembali (Yesaya 60:8)? Haleluya!
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.