"Jawab Yesus: 'Jikalau Aku memuliakan diri-Ku sendiri, maka kemuliaan-Ku itu sedikitpun tidak ada artinya. Bapa-Kulah yang memuliakan Aku, tentang siapa kamu berkata: Dia adalah Allah kami, padahal kamu tidak mengenal Dia, tetapi Aku mengenal Dia. Dan jika Aku berkata: Aku tidak mengenal Dia, maka Aku adalah pendusta, sama seperti kamu, tetapi Aku mengenal Dia dan Aku menuruti firman-Nya. Abraham bapamu bersukacita bahwa ia akan melihat hari-Ku dan ia telah melihatnya dan ia bersukacita.'" - Yohanes 8:54-56
Ketika Tuhan Yesus menjalani pelayanan-Nya di bumi dan Tanah Permai Israel, Ia begitu mempromosikan Abraham, bukan sekedar sebagai hamba-Nya, namun juga sebagai rekan dan sahabat yang kepadanya Tuhan mengadakan perjanjian abadi dengan ikat sumpah yang sedemikian kuat. Melalui perjanjian itulah Israel dan segala bangsa dimampukan untuk menerima janji keselamatan dan kekayaan sorgawi lainnya di dalam Kristus Yesus.
Apa yang menyebabkan Abraham begitu layak untuk Tuhan jadikan mitra abadi dalam perjanjian yang begitu luhur dan sumpah setia Tuhan? Tentu tidak lain adalah karena kesetiaan Abraham yang telah teruji hingga ia rela mengorbankan Ishak, anak perjanjian, lebih dari 4.000 tahun yang lalu di tanah Moria. Dan demikianlah sebagian dari perjanjian sumpah Tuhan kepada Abraham,
"Untuk kedua kalinya berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepada Abraham, kata-Nya: 'Aku bersumpah demi diri-Ku sendiri--demikianlah firman TUHAN--:Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku, maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku.' Kemudian kembalilah Abraham kepada kedua bujangnya, dan mereka bersama-sama berangkat ke Bersyeba; dan Abraham tinggal di Bersyeba." - Kejadian 22:15-19
Jika kita membaca sekilas akan bagian akhir kisah Abraham mempersembahkan Ishak, maka kita akan memperoleh kesan bahwa akhir kisah tersebut adalah sebuah happy ending. Namun apa yang berikutnya terjadi sesungguhnya adalah sebuah tragedi yang memilukan yang menimpa keluarga Abraham. Mengapa? Sebab sejak saat itu Abraham tidak lagi kembali kepada isterinya, Sarah. Konon ketika Sarah mengetahui bahwa Ishak sempat dikorbankan, Sarah menolak untuk tinggal bersama Abraham hingga hari kematiannya. Dan bukan hanya itu, keretakan hubungan Abraham dan Sarah pun menimbulkan trauma yang cukup mendalam bagi sang anak perjanjian, Ishak.
"Sarah hidup seratus dua puluh tujuh tahun lamanya; itulah umur Sarah. Kemudian matilah Sarah di Kiryat-Arba, yaitu Hebron, di tanah Kanaan, lalu Abraham datang meratapi dan menangisinya." - Kejadian 23:1-2
Jadi sementara Abraham tinggal di Bersyeba, sesungguhnya Sarah tinggal di Hebron hingga hari kematiaannya. Itu sebabnya disebutkan bahwa Abraham datang meratapi dan menangisinya, BUKAN Abraham meratapi dan menangisinya. Mengapa ada kata datang? Sebab saat itu Abraham memang tidak bersama Sarah.
Sampai di sini, sadarkah kita apa saja resiko dan akibat yang bisa terjadi ketika seorang abdi Tuhan begitu setia mengikuti segala jalan-Nya bahkan ketika jalan itu harus menjadi sangat ekstrim dan tidak masuk akal? Orang awam yang tidak mengerti kemungkinan besar akan protes dengan berkata, "Kenapa ikut Tuhan malah mengalami tragedi dan kemalangan hingga jadi batu sandungan seperti ini?" Di titik ini tidak ada orang lain yang bisa tahu dan paham apa yang sebenarnya sedang terjadi, kecuali Tuhan dan orang yang kepadanya Tuhan sedang berurusan.
Dan jika kita renungkan lebih dalam lagi akan sikap Sarah, sungguh sebuah tragedi, namun bukan karena ia berpisah dengan Abraham sampai hari kematiannya, melainkan karena Sarah tidak bisa mengikuti puncak kehendak Tuhan bagi suami sekaligus tuannya, Abraham. Padahal selama sekian puluh tahun Sarah mengalami begitu banyak berkat, kelimpahan, mujizat dan perjalanan bersama Abraham dan Tuhan. Sarah bahkan yang sudah mati haid bisa mengandung dan melahirkan Ishak. Namun ternyata setelah semuanya itu, Sarah tidak bisa menangkap kehendak Tuhan seutuhnya, sedangkan Abraham dengan hati hineni menggenapi dalam cinta dan kerelaan untuk mengorbankan Ishak.
Standar Mempelai Kristus
Oleh karena hal ini semua, Tuhan Yesus mempromosikan Abraham sedemikian rupa kepada bangsa Israel pada waktu itu. Ada ikatan yang begitu kuat dan abadi antara Tuhan dengan Abraham, yakni ikatan persahabatan dan cinta agape sebagai kekasih Tuhan. Dan standar yang sama, yang telah dilalui Abraham sebagai kekasih-Nya, itulah yang Tuhan Yesus gariskan kepada murid-murid-Nya,
"Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya. Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya." - Matius 10:34-39
Standar tersebut bukan diucapkan oleh Allah, juga bukan oleh Roh Kudus, melainkan oleh Anak Manusia, Tuhan Yesus Kristus, yakni Sang Mempelai Pria kepada Calon Mempelai Wanita-Nya, yakni kita sebagai Gereja Tuhan.
Standar ini berkata bahwa jika seseorang mengasihi keluarganya lebih daripada Tuhan, maka itu sama dengan tidak memikul salibnya, sama dengan takut kehilangan nyawanya dan tidak layak menjadi Mempelai-Nya. Dan ini memang standar ekstrim, standar Mempelai Kristus, standar bagi mereka yang menghendaki ikut terangkat pada Hari Pengangkatan (rapture), standar Ruang Mahasuci, dan bukan standar halaman Bait Suci. Relakah kita terus dibawa naik hingga kepada titik Ruang Mahasuci itu, di mana terjadi perjumpaan muka dengan muka dengan Yang Mahasuci dalam segala kemuliaan-Nya?
Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.
Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.