Gereja tidak perlu merasa diperlakukan tidak adil, apalagi sampai menuntut keadilan ketika intensitas pemberitaan insiden Sri Lanka lebih rendah daripada intensitas pemberitaan insiden Christchurch.
Sebab memang Gereja dipanggil sama seperti Tuannya yang juga adalah Kepalanya, Yesus Kristus, yakni menjadi martir.
Sebagaimana singa seharusnya mengaum, serigala seharusnya melolong, anjing seharusnya menggonggong dan ikan seharusnya berenang, demikian pula Gereja seharusnya dibenci dan dibunuh oleh penguasa dunia ini. Tidak perlu pemberitaan yang menghebohkan atau dramatis.
Gereja harus terus mengingat bahwa imannya dimulai dari apa yang tertulis dalam Yohanes 3:16,
"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal."
Dan Gereja juga harus terus mengingat bahwa imannya harus berakhir pada apa yang tertulis dalam 1 Yohanes 3:16,
"Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita."
Bukan sebuah kebetulan insiden Sri Lanka ini bertepatan dengan Paskah 2019 dan Passover 5779. Ini jelas sebuah pesan bagi Gereja untuk bersiap menghadapi kemartiran yang telah lama dinubuatkan.
Sebagaimana Meterai Ke-5 telah dibuka 2 tahun lalu, demikian juga penggenapannya akan terus mengikutinya.
Di masa mendatang dan besar kemungkinan dalam waktu yang tidak lama lagi akan ada lebih banyak dan lebih tragis daripada insiden Sri Lanka, baik itu diberitakan maupun yang tidak sempat diberitakan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.