Apa yang bisa dirasakan ketika kita mulai mengetik nama depan kita di Google, dan dalam sekejap langsung mendapati bahwa nama kita ada di urutan pertama pada mesin pencari tersebut bahkan pada halaman pertama hasil pencarian ada tautan dari Wikipedia mencatat informasi tentang pribadi kita dengan cukup lengkap dan rinci? Akankah kita menjadi bangga mendapati semuanya itu? Atau bagaimana kita harus bersikap?
Itulah yang dialami oleh kedua warga Australia, yang juga mantan Duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Belum selesai kita mengetik kata "Andrew" atau kata "Myuran", suggestion list di bawah kotak pencarian sudah menampilkan nama lengkapnya. Dan begitu nama mereka diklik, tautan Wikipedia ada di bagian teratas memuat informasi lengkap kedua figur tersebut. Mereka menjadi begitu tenar, namun karena perkara yang tak terduga sebelumnya dan melalui proses yang begitu dramatis.
Keduanya tergabung dalam sindikat narkoba yang disebut Bali Nine, dan pada tahun 2005 kesembilan orang ini tertangkap di Ngurah Rai, Denpasar. Beberapa waktu kemudian semua anggotanya divonis hukuman mati dan walaupun telah berjuang dalam perjuangan yang begitu panjang dan amat melelahkan, 10 tahun untuk mendapatkan kesempatan untuk tetap hidup, hasilnya tetap nihil, bahkan dua di antaranya telah final tereksekusi pada 29 April 2015 lalu.
Andrew Chan dan Myuran Sukumaran memulai dengan amat buruk dan seharusnya tak ada yang istimewa dengan hal itu karena pelaku peredaran narkoba yang tertangkap di Indonesia jumlahnya amat banyak hingga Indonesia dianggap dalam situasi darurat narkoba. Bahkan di beberapa daerah, mendapati narkoba jauh lebih mudah daripada membeli sayur mayur. Sungguh memprihatinkan memang.
Kisah mereka mulai menjadi menarik ketika perubahan mulai terjadi di saat mereka merasa sudah tak berdaya, lalu menemukan Kristus, bertobat dan memberi diri mereka kepada Kerajaan Tuhan. Harapan yang sempat putus kembali tersambung, namun kali ini bukan hanya bagi hidup mereka sendiri melainkan bagi sesama narapidana lainnya yang bertetangga dengan mereka. Singkat kata, para Saulus bertransformasi menjadi para Paulus.
Di sisi lain, ketidakpastian yang berkepanjangan atas perjuangan mereka untuk lolos dari vonis hukuman mati menjadikan beban tersendiri yang luar biasa berat bagi batin mereka. Ketakutan pada kematian atau kekecewaan karena merasa diperlakukan tidak adil bisa menjadi alasan perjuangan mereka ini. Apalagi ditambah sekian banyak deretan peristiwa dari masing-masing anggota keluarga mereka di negeri lain yang tak mampu mereka hadiri, mulai dari ulang tahun, pernikahan, kelahiran dan terutama ketika ada di antara keluarga mereka yang wafat dan dimakamkan. Sungguh sama sekali tidak mudah menghadapi semuanya itu.
Itulah yang dialami oleh kedua warga Australia, yang juga mantan Duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Belum selesai kita mengetik kata "Andrew" atau kata "Myuran", suggestion list di bawah kotak pencarian sudah menampilkan nama lengkapnya. Dan begitu nama mereka diklik, tautan Wikipedia ada di bagian teratas memuat informasi lengkap kedua figur tersebut. Mereka menjadi begitu tenar, namun karena perkara yang tak terduga sebelumnya dan melalui proses yang begitu dramatis.
Keduanya tergabung dalam sindikat narkoba yang disebut Bali Nine, dan pada tahun 2005 kesembilan orang ini tertangkap di Ngurah Rai, Denpasar. Beberapa waktu kemudian semua anggotanya divonis hukuman mati dan walaupun telah berjuang dalam perjuangan yang begitu panjang dan amat melelahkan, 10 tahun untuk mendapatkan kesempatan untuk tetap hidup, hasilnya tetap nihil, bahkan dua di antaranya telah final tereksekusi pada 29 April 2015 lalu.
Andrew Chan dan Myuran Sukumaran memulai dengan amat buruk dan seharusnya tak ada yang istimewa dengan hal itu karena pelaku peredaran narkoba yang tertangkap di Indonesia jumlahnya amat banyak hingga Indonesia dianggap dalam situasi darurat narkoba. Bahkan di beberapa daerah, mendapati narkoba jauh lebih mudah daripada membeli sayur mayur. Sungguh memprihatinkan memang.
Kisah mereka mulai menjadi menarik ketika perubahan mulai terjadi di saat mereka merasa sudah tak berdaya, lalu menemukan Kristus, bertobat dan memberi diri mereka kepada Kerajaan Tuhan. Harapan yang sempat putus kembali tersambung, namun kali ini bukan hanya bagi hidup mereka sendiri melainkan bagi sesama narapidana lainnya yang bertetangga dengan mereka. Singkat kata, para Saulus bertransformasi menjadi para Paulus.
Di sisi lain, ketidakpastian yang berkepanjangan atas perjuangan mereka untuk lolos dari vonis hukuman mati menjadikan beban tersendiri yang luar biasa berat bagi batin mereka. Ketakutan pada kematian atau kekecewaan karena merasa diperlakukan tidak adil bisa menjadi alasan perjuangan mereka ini. Apalagi ditambah sekian banyak deretan peristiwa dari masing-masing anggota keluarga mereka di negeri lain yang tak mampu mereka hadiri, mulai dari ulang tahun, pernikahan, kelahiran dan terutama ketika ada di antara keluarga mereka yang wafat dan dimakamkan. Sungguh sama sekali tidak mudah menghadapi semuanya itu.
Namun ketika eksekusi mati gelombang pertama pada 18 Januari 2015 terjadi, seluruh sisa calom terpidana mati lainnya menjadi begitu terhenyak, sebab baru pertama kali seorang Presiden RI menolak secara total tanpa terkecuali pemberian grasi bagi semua calon terpidana mati kasus narkoba. Termasuk di antaranya adalah Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, keduanya terjadwal dieksekusi pada gelombang kedua.
Melihat kepastian dan keseriusan Presiden Joko Widodo dalam memberantas narkoba sungguh membuat semua pihak yang peduli terhadap keselamatan Andrew dan Myuran berjuang ekstra giat untuk meloloskan dari maut. Berbagai pertimabangan dan nasihat bahkan kegiatan doa - puasa diadakan banyak pihak demi untuk membatalkan eksekusi gelombang kedua dan situasinya menjadikan 4 bulan berikutnya jauh lebih dramatis lagi. Grasi yang diharapkan tetap tidak turun, sampai akhirnya kesembilan narapidana menghembuskan nafas terakhirnya di tangan para algojo.
Namun eksekusi gelombang kedua ini terjadi begitu berbeda daripada gelombang yang pertama, menurut saya, beberapa hal di antaranya:
1. Sangat banyak pihak yang bisa diajak terlibat secara aktif untuk memohon pengampunan kepada pemerintah Indonesia. Walaupun di sisi lain juga semakin banyak yang menentang bagi mereka untuk mendapatkan kelonggaran. Sebagian besar alasan mereka yang rela membela pada calon terpidana mati adalah karena mereka melihat jelas dampak pertobatan tersebut.
2. Ketika Ang Kim Soei (salah satu terpidana pada gelombang pertama, 18 Januari 2015) hendak dieksekusi, dia berpesan dalam keberatannya, "Saya punya pesan untuk Presiden Jokowi, saya selama ini telah berubah dan terus berupaya berbuat baik. Salah satunya, dengan mengobati orang, baik narapidana atau warga sekitar. Ada puluhan orang yang telah saya obati. Saya memiliki kemampuan untuk mengobati, saya menggunakannya. Tapi, mengapa justru saya yang dihantam (dieksekusi). Padahal, banyak terpidana mati, yang tetap berbuat jahat di dalam penjara."
Bandingkan dengan pesan Andrew Chan, "Perlakukan setiap hari seperti berlian, belajar menggunakannya untuk hal-hal yang kamu cintai, jalani hari itu dengan orang-orang yang kamu sayangi, karena kamu tak pernah tahu, kapan kita mesti berpisah." Dia belajar merelakan, walaupun usahanya untuk lolos dari hukuman mati sama sekali tidak berhasil. Andrew, juga Myuran mengakhiri hidupnya dengan baik. Mereka akhirnya memberkati orang-orang di sekitarnya. Dan memaafkan mereka yang menyakiti.
Melihat kepastian dan keseriusan Presiden Joko Widodo dalam memberantas narkoba sungguh membuat semua pihak yang peduli terhadap keselamatan Andrew dan Myuran berjuang ekstra giat untuk meloloskan dari maut. Berbagai pertimabangan dan nasihat bahkan kegiatan doa - puasa diadakan banyak pihak demi untuk membatalkan eksekusi gelombang kedua dan situasinya menjadikan 4 bulan berikutnya jauh lebih dramatis lagi. Grasi yang diharapkan tetap tidak turun, sampai akhirnya kesembilan narapidana menghembuskan nafas terakhirnya di tangan para algojo.
Namun eksekusi gelombang kedua ini terjadi begitu berbeda daripada gelombang yang pertama, menurut saya, beberapa hal di antaranya:
1. Sangat banyak pihak yang bisa diajak terlibat secara aktif untuk memohon pengampunan kepada pemerintah Indonesia. Walaupun di sisi lain juga semakin banyak yang menentang bagi mereka untuk mendapatkan kelonggaran. Sebagian besar alasan mereka yang rela membela pada calon terpidana mati adalah karena mereka melihat jelas dampak pertobatan tersebut.
2. Ketika Ang Kim Soei (salah satu terpidana pada gelombang pertama, 18 Januari 2015) hendak dieksekusi, dia berpesan dalam keberatannya, "Saya punya pesan untuk Presiden Jokowi, saya selama ini telah berubah dan terus berupaya berbuat baik. Salah satunya, dengan mengobati orang, baik narapidana atau warga sekitar. Ada puluhan orang yang telah saya obati. Saya memiliki kemampuan untuk mengobati, saya menggunakannya. Tapi, mengapa justru saya yang dihantam (dieksekusi). Padahal, banyak terpidana mati, yang tetap berbuat jahat di dalam penjara."
Bandingkan dengan pesan Andrew Chan, "Perlakukan setiap hari seperti berlian, belajar menggunakannya untuk hal-hal yang kamu cintai, jalani hari itu dengan orang-orang yang kamu sayangi, karena kamu tak pernah tahu, kapan kita mesti berpisah." Dia belajar merelakan, walaupun usahanya untuk lolos dari hukuman mati sama sekali tidak berhasil. Andrew, juga Myuran mengakhiri hidupnya dengan baik. Mereka akhirnya memberkati orang-orang di sekitarnya. Dan memaafkan mereka yang menyakiti.
Andrew dan Myuran gagal menyabung harapan untuk tetap bisa hidup, namun waktu-waktu terakhir hidup mereka justru menyambung atau menghidupkan kembali harapan dari banyak orang untuk Indonesia bebas dari narkoba. Kebodohan mereka memang menjerumuskan mereka, namun sikap mereka menghadapi semua akibatnya menjadi inspirasi tersendiri bagi banyak orang.
Konon data terakhir menyebutkan bahwa saat ini ada lebih dari Rp 360.000.000.000.000,- / tahun perputaran uang narkoba yang beredar di Indonesia. Dan US $400.000.000.000,- / tahun perputaran uang narkoba di dunia. Belum lagi jutaan korban yang jatuh maupun yang harus direhab. Dapatkah Gereja Tuhan melihat semuanya ini sebagai peluang dan jarahan untuk merebut jiwa bagi Kristus dan Kerajaan-Nya? Atau drama eksekusi Andrew Chan dkk hanya sebagai tontonan emosional sesaat untuk memuaskan nafsu komersil industri media saat itu?
Andrew Chan, Myuran Sukumaran dan ketujuh tereksekusi tidak mati sebagai martir, kematian mereka terjadi karena proses hukum yang sah, namun proses dan sikap mereka dalam menghadapi kematian mereka itulah warisan yang perlu direspon secara proaktif demi Indonesia yang lebih baik. Tuhan memberkati.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.