"Abram menghampiri Hagar, lalu mengandunglah perempuan itu. Ketika Hagar tahu, bahwa ia mengandung, maka ia memandang rendah akan nyonyanya itu." - Kejadian 16:4
Hagar seorang perempuan biasa yang bekerja dan mengabdi kepada tuan dan nyonya Abram yang terhormat. Namun suatu ketika tiba-tiba saja sang nyonya memiliki ide untuk menyerahkan dirinya kepada tuannya untuk bisa memiliki keturunan. Mungkin memang sesuai arti namanya, terbang (flight), begitulah yang terjadi pada hidupnya. Hal ini sungguh bagaikan durian runtuh, seperti sebuah pembalikkan keadaan yang begitu tiba-tiba datangnya. Bagaimana tidak? Dari seorang budak rendahan, tiba-tiba memiliki kesempatan untuk berjasa besar memberikan keturunan satu-satunya dengan mengandung dan melahirkan darah daging sang tuan di tengah krisis usia saat itu, apalagi darah daging tersebut seorang laki-laki yang memang cocok bagi masyarakat penganut patrilineal seperti tuannya itu.
Hagar sungguh mulai memandang dirinya dengan amat berbeda, ia mulai merasa sejajar dengan sang nyonya dan semakin lama perasaan itu semakin besar sehingga ia bahkan tidak menganggap dirinya sebagai budak, melainkan sebagai sang nyonya "kedua" dengan memandang rendah sang nyonya sejati. Tindakannya ini bukan sekedar bahasa tatapan ataupun bahasa tubuh terhadap sang nyonya, namun juga melibatkan ucapan dan sikap yang sedemikian rupa merendahkan sang nyonya. Itulah sebabnya nyonya Abram merasa amat terhina, karena memang ada budak yang menghina nyonyanya.
Pertanyaan pertama, siapkah kita ketika kesempatan istimewa seperti yang datang kepada Hagar, juga datang kepada kita? Akankah kita tetap terjaga, sadar dan tahu diri bahwa diri kita hanyalah hamba-hamba yang tak berguna? (Lukas 17:10). Kita yang selama ini menantikan berbagai terobosan dan promosi dalam hidup; keuangan, pelayanan, pekerjaan, keluarga dan sebagainya.
Pertanyaan kedua, bagaimana kita menyikapi semua yang ada, jika kita memang mendapat peran seperti Hagar? Hagar tak pernah memilih untuk menjadi budak orang lain dan ia juga tak dapat menolak ketika sang nyonya menyodorkan tubuhnya kepada sang tuan, sebab ia seorang budak yang tidak memiliki hak untuk memilih. Bahkan pada waktu Hagar kabur, maka Tuhan menjawabnya, "Kembalilah kepada nyonyamu, biarkanlah engkau ditindas di bawah kekuasaannya." Dan kali itu Hagar taat dan rela membiarkan dirinya ditindas sampai sang nyonya mengusirnya. Apakah kita juga akan rela dan taat untuk membiarkan diri kita tetap ditindas atau menderita sesuai dengan kehendak-Nya? Menanggung yang mungkin menurut pikiran kita tidak pantas atau tidak layak kita tanggung. Hagar yang walaupun dalam kesombongannya merendahkan nyonyanya, ia juga berlaku setia dalam penderitaannya.
Hagar, biar bagaimanapun ia adalah seorang saksi iman dengan tetap setia menderita di bawah penindasan sang nyonya dan ia memperoleh bagian dari warisan janji Elohim kepada Abraham. Bukankah keturunan Ismael juga menjadi amat banyak dan amat kaya di dunia? Akankah hal itu dapat terjadi, jika seandainya Hagar memilih untuk tidak kembali kepada majikannya?
Ini adalah suatu kiasan. Sebab kedua perempuan itu adalah dua ketentuan Allah: yang satu berasal dari gunung Sinai dan melahirkan anak-anak perhambaan, itulah Hagar -- Hagar ialah gunung Sinai di tanah Arab--dan ia sama dengan Yerusalem yang sekarang, karena ia hidup dalam perhambaan dengan anak-anaknya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.