"Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai (apotasion) kepadanya." - Matius 5:31
Yesus melihat perceraian bukan sebagai sebuah sebab, melainkan sebagai sebuah akibat. Atau dengan kata lain, perceraian merupakan sebuah gejala (sympton) dari sebuah (akar) masalah yang sesungguhnya, yang harus dicari tahu. Sama seperti rasa sakit pada satu bagian tubuh kita, hal itu merupakan gejala atau akibat yang ditimbulkan dari penyebabnya.
Sebagai contoh, jika seseorang mengalami migrain (sakit kepala sebelah) yang biasanya disertai oleh rasa nyeri, adalah akibat dari beberapa penyebab, antara lain stress, kurang tidur, telat makan dan sebagainya. Yang menyakitkan adalah gejalanya, yakni migrain itu, sedangkan penyebab migrain ada lagi. Itu sebabnya perceraian terasa begitu menyakitkan, bahkan perceraian lebih buruk daripada kematian.
Mengapa perceraian lebih buruk daripada kematian? Mari kita lihat arti sesungguhnya dari perceraian itu sendiri. Dalam bahasa Yunani, kata perceraian (divorcement) disebut apotasion, yang berasal dari kata apotasia. Dalam bahasa Inggris, apostasia disebut to defect, artinya menyebrang untuk meninggalkan, atau menyebrang untuk berpisah. Yang menarik adalah baik kata apostasia maupun to defect merupakan istilah militeristik atau ketentaraan.
Bagaimanakah arti apostasia dalam bidang militer ini? Sebut saja ada sekelompok tentara yang terdiri dari sepuluh orang pergi ke suatu medan perang, dan ketika mereka sedang berada di tengah pertempuran, salah satu dari kesepuluh tentara itu merasa ingin menyerah, hal itu bisa saja terjadi karena dia merasa musuh yang dihadapi terlalu berat, atau senjata dan taktik yang dipakai musuh terlalu canggih dan sebagainya. Lalu orang ini hendak pergi meninggalkan medan pertempuran dan itu juga berarti dia meninggalkan sembilan rekan tentara seperjuangannya. Tindakan tentara yang meninggalkan medan perang disebut desersi. Dan untuk kita ketahui bahwa hukuman yang patut dijatuhkan kepada mereka yang desersi hanya satu, yakni hukuman mati.
Mengapa desersi harus dihukum mati? Sebab jika satu tentara yang desersi itu sampai jatuh ke tangan musuh, sedangkan yang memotivasi tindakan desersinya adalah untuk menyelamatkan nyawanya sendiri, maka sangat besar kemungkinan tentara yang desersi ini berkhianat kepada semua rekan tentara yang ia tinggalkan. Misalnya, ia bisa membocorkan informasi mengenai berapa kekuatan atau strategi perang dari pasukan yang ia tinggalkan kepada musuh yang menyanderanya. Jadi ya, desersi bisa dianggap juga sebagai pengkhianatan.
Ini yang harus benar-benar dipahami bahwa ketika seseorang memutuskan bergabung dalam ketentaraan atau angkatan militer, maka orang tersebut sebenarnya telah berkomitmen untuk memberikan hidupnya dengan resiko kematian. Jadi masuk ke dalam ketentaraan maka jaminan terbaik yang bisa didapatkan adalah kematian. Tidak ada satupun angkatan militer yang bisa memberi jaminan bahwa tentaranya akan bertahan hidup, apalagi menang dalam setiap pertempuran.
Begitu juga dalam pernikahan, seorang suami dan seorang istri yang membuat kesepakatan bersama dalam sebuah pernikahan adalah mereka yang berkomitmen untuk memberikan hidup mereka sampai kematian yang memisahkan mereka. Jaminan yang bisa diperoleh dalam sebuah pernikahan adalah sama dengan jaminan yang diperoleh dalam ketentaraan, yakni jaminan kematian. Dan itu sebabnya mengapa pernikahan menjadi begitu konyol adalah karena jaminan dan komitmennya adalah kepada kematian, namun motivasi pernikahan mereka adalah kehidupan.
Ini bukan berarti bahwa pernikahan adalah untuk kematian, bukan itu. Tapi komitmen pernikahan adalah rela dan berani mati, BUKAN takut mati. Pernikahan hanya bagi mereka yang konsekuen mau menanggung apapun resikonya ketika sudah membuat janji kesepakatan bersama terhadap pasangannya masing-masing di hadapan Tuhan.
Cinta Dan Kematian
"Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN!" - Kidung Agung 8:6
"Hang my locket around your neck, wear my ring on your finger. Love is invincible facing danger and death. Passion laughs at the terrors of hell. The fire of love stops at nothing--it sweeps everything before it." - Song Of Solomon 8:6 (The Message)
Karena cinta lebih perkasa daripada marabahaya dan maut, gelora cinta menertawakan teror neraka (The Message). Itulah sebabnya pernikahan yang memiliki komitmen kepada kematian harus memiliki cinta dan gairah yang murni. Pernikahan yang benar hanya dimotivasi oleh cinta yang tulus dan bergelora, yang mampu melampaui kematian.
Namun ada begitu banyak pernikahan yang salah karena tidak dimotivasi oleh cinta yang tulus dan bergelora. Mereka dimotivasi oleh hal-hal yang receh dan sekedar remah-remah, yakni karena harta, status sosial, takut dimakan usia, kepentingan politik, manipulasi seks dan sebagainya. Semua motivasi yang receh dan remah-remah ini sangat bertentangan dengan jaminan kematian yang ada dalam komitmen pernikahan, karena semuanya itu pada intinya adalah ingin hidup nyaman dan takut mati atau takut menderita. Padahal cinta yang sesungguhnya adalah merelakan dan berkorban.
Cinta yang benar juga menuntut kedisiplinan dari masing-masing pelakunya. Kita mau meluangkan waktu dan merelakan ego untuk sebuah hubungan dapat bekerja dan berkembang dengan baik di tengah berbagai resiko yang bisa terjadi. Kedisiplinan juga termasuk komitmen untuk meningkatkan kemampuan mendengar untuk semakin memahami pasangan masing-masing sehingga cinta yang ada tidak menjadi surut, melainkan semakin bisa dinikmati oleh orang-orang di sekitar kita.
Apostasia Sebagai Tanda Akhir Zaman
Yang tidak kalah menariknya adalah kata apostasia dalam bahasa Yunani diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi kata apostasy, yang berarti murtad atau pengkhianatan. Jadi alasan Tuhan sangat membenci perceraian adalah karena tindakan tersebut sama dengan murtad dan pengkhianatan terhadap komitmen yang telah disepakati dimana Tuhan yang menjadi Saksi Agung dari perjanjian tersebut.
Dan ternyata peningkatan jumlah perceraian telah dinubuatkan sebagai salah satu tanda Akhir Zaman,
"Janganlah kamu memberi dirimu disesatkan orang dengan cara yang bagaimanapun juga! Sebab sebelum Hari itu haruslah datang dahulu murtad dan haruslah dinyatakan dahulu manusia durhaka, yang harus binasa, yaitu lawan yang meninggikan diri di atas segala yang disebut atau yang disembah sebagai Allah. Bahkan ia duduk di Bait Allah dan mau menyatakan diri sebagai Allah." - 2 Tesalonika 2:2-3
Perceraian hanyalah gejala (sympton) yang ditimbulkan dari suatu sebab (cause). Apa yang sesungguhnya menyebabkan perceraian, terutama di kalangan Gereja Tuhan? Karena tidak menjadikan Tuhan sebagai pusat dari pernikahan tersebut. Keinginan dan agenda pribadi yang menjadikan perceraian bisa terjadi. Atau dengan kata lain, perceraian terjadi karena kita sebagai Bait Allah mengizinkan lawan-Nya meninggikan diri dan bukan meminta Tuhan sebagai Tuan atas Bait kehidupan kita.
Ya itulah yang sudah dinubuatkan bahwa menjelang Hari TUHAN akan ada begitu banyak dari Gereja dan Pasukan-Nya yang desersi dari berbagai perjanjian yang telah ada di antara Tuhan dengan umat-Nya. Namun selama kita menempatkan Tuhan sebagai pusat dari segalanya, maka hal itu akan bisa dihindari, yakni jika kita dengan tulus dan rela terus meminta agar Tuhan memaksakan kehendak dan rencana-Nya jadi genap dalam hidup kita.
Tuhan memberkati.
Sungguh, Aku mengadakan suatu perjanjian. Di depan seluruh bangsamu ini akan Kulakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib, seperti yang belum pernah dijadikan di seluruh bumi di antara segala bangsa; seluruh bangsa, yang di tengah-tengahnya engkau diam, akan melihat perbuatan TUHAN, sebab apa yang akan Kulakukan dengan engkau, sungguh-sungguh dahsyat.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.